Keajaiban Manusia: Mengapa Alam Semesta Tunduk Kepada Manusia?
Terdapat beberapa Ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Alam Semesta beserta isinya ditundukkan Allah bagi manusia.
“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu (manusia) apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Hajj: 65).
“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada d bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 13).
Ayat-ayat tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan teologis:
Mengapa alam semesta dengan segala isinya termasuk para malaikat, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mineral lainnya mau tunduk kepada manusia? Apa dan dimana letak keistimewaan manusia sehingga mereka tunduk kepada manusia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sering dijawab secara simplistik, bahwa manusia dianugerahi akal di samping nafsu. Selain itu, manusia telah ditunjuk oleh Allah SWT sebagai khalifah di alam semesta ini.
Jawaban seperti ini ditolak para sufi, dengan alasan bahwa manusia bukan satu-satunya ciptaan yang diberi akal, karena banyak makhluk lain yang memiliki akal, bahkan mungkin mereka lebih cerdas dibandingkan manusia.
Para ahli binatang menemukan banyak bukti bahwa binatang memiliki kecerdasan berpikir bertingkat tingkat. Monyet, misalnya, dapat menyusun kursi di atas meja untuk menggapai pisang yang digantung di langit-langit.
Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi objek dengan cerdas. Apalagi bangsa jin dan makhluk spiritual lainnya.
Jika fenomena penampakan UFO benar-benar ada, maka dipastikan makhluk UFO itu lebih cerdas dalam banyak segi daripada manusia. Pendapat ini juga didukung oleh ayat:
“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nur: 41).
Ayat ini menggunakan kata man fi al-samawati wa al-ardh. Dalam kaidah bahasa Arab, penggunaan huruf ma menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal, dan huruf man untuk makhluk cerdas atau berakal.
Dengan demikian, Ayat di atas mengisyaratkan makhluk berpikir dan cerdas bukan hanya ada di bumi, tetapi juga makhluk lain yang ada di langit.
Karena itu, menurut Ibnu Arabi, keistimewaan manusia yang kemudian mengantarkannya menjadi khalifah, lalu alam semesta tunduk kepadanya, sama sekali bukan karena akalnya. Kemampuan berpikir bukan ciri khas manusia, melainkan menjadi fenomena alam semesta.
“Keistimewaan yang dimiliki manusia adalah karena kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan nama-nama (Asma) dan Sifat-sifat Tuhan,” tegas Ibnu Arabi.
Alam mineral merupakan lokus paling sederhana dapat menerima penampakan tersebut, lalu disusul oleh tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk spiritual.
Selain itu, semua unsur alam ada pada manusia, seperti di dalam tubuh manusia ada unsur mineral (tanah dan air), tumbuh-tumbuhan, dan binatang.
Makhluk manusia adalah Mahakarya Allah yang paling tinggi dibanding malaikat dan iblis. Oleh karenanya, malaikat dan iblis diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, sebab kesempurnaan itu hanya dimiliki oleh Adam, tidak dimiliki oleh malaikat dan iblis.
(https://ibtimes.id/manusia-paripurna-insan-kamil-menurut-ibnu-arabi/).
Ibnu Arabi dikenal sebagai tokoh yang paling menonjol dalam pembahasannya tentang hubungan antara manusia, kosmos atau alam ciptaan dengan Sang Pencipta. Pandangannya berpijak pada dua konsep utama, yaitu hakikat wujud dan hakikat manusia.
Pandangan tentang hakikat wujud mengantarkannya kepada konsep al-Insan al-Kamil, yang kebalikannya adalah al-Insan al-Hayawan.
Bahwa keseluruhan sifat kosmos itu merupakan gema dari berbagai Nama dan Sifat Tuhan. Maka, sesungguhnya hanya ada satu wujud dan satu realitas. Segala entitas yang ada, hanyalah refleksi dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan.
Oleh karena itu, Ibnu Arabi mengatakan bahwa siapa yang ingin mengetahui Tuhannya, hendaklah ia mengetahui alam semesta, barang siapa mengetahui alam semesta ia akan mengetahui dirinya, dan barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya.
Penciptaan alam dalam teori Ibnu Arabi adalah perwujudan dari konsep tajalli, teofani, (“penampakan”) Tuhan pada alam empiris.
Tajalli dimaknai sebagai cara munculnya yang banyak dari Yang Satu tanpa akibat Yang Satu itu menjadi banyak.
Tuhan menciptakan alam semesta agar dapat melihat diri-Nya dan memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui eksistensi alam. Inilah tujuan penciptaan.
Karena manusia adalah ciptaan-Nya yang terbaik, maka manusia terbaik adalah yang terbaik pengenalannya terhadap alam ciptaan, sehingga dapat mengenal Penciptanya dengan baik. Inilah pentingnya mempelajari Alam Semesta menurut Islam (Kosmologi Islam).
Alam dan Ilmu Berasal dari Akar Kata yang Sama
Dalam Islam, kata alam secara bahasa berasal dari akar kata alima-ya’lamu = mengetahui. Dari akar kata ini, terbentuk kata alam yang artinya “tanda”, “petunjuk”, atau “bendera”, dan alamah yang artinya “alamat” atau sesuatu yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Dari akar kata ini, juga berasal kata ‘ilmu. Alam dan ilmu yang menyatu dalam diri manusia akan mengantarkannya kepada pengenalan akan Penciptanya.
Maka dalam perspektif Islam, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT, maa siwaa Allah. Konsekwensinya, Alam adalah tanda yang menunjuk kepada (adanya) Allah.
Jadi apa yang disebut alam semesta dalam Islam, mencakup seluruh ciptaan Allah. Dan karena manusia adalah ciptaan-Nya yang paling mulia sehingga diberi tugas sebagai khalifah, maka alam semesta yang tunduk kepada manusia sebagai khalifah itu adalah manusia yang sudah mencapai derajat mulia, al-Insan al-Kamil, manusia sempurna.
Maka, proses pembelajaran manusia yang hakiki sepanjang hayatnya adalah proses untuk terus-menerus mengenal dirinya dan posisinya di alam semesta, sehingga semakin menjauhkan dirinya dari derajat al-Insan al-Hayawan menuju derajat al-Insan al-Kamil. Kualitas inilah yang akan mengantarkannya kepada pencapaian derajat ‘Abdullah dan Khalifatullah tertinggi.
Derajat sempurna (kamil) yang pernah dicapai, tentu saja hanya bisa diraih oleh manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad SAW. Maka, dalam Sirah Nabawiyah kita mengenal banyak kejadian di luar nalar tentang kisah tunduknya alam semesta kepada beliau. Misalnya, peristiwa terbelahnya bulan, atau pohon yang bersaksi atas kerasulan beliau dalam kisah Masjid Asy-Syajarah.
Selanjutnya, derajat yang bisa dicapai oleh umatnya bertingkat-tingkat pencapaiannya, sesuai dan berbanding lurus dengan ikhtiar dalam proses pembelajarannya.
Derajat sempurna (kamil) yang pernah dicapai, tentu saja hanya bisa diraih oleh manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad SAW. Maka, dalam Sirah Nabawiyah kita mengenal banyak kejadian di luar nalar tentang kisah tunduknya alam semesta kepada beliau. Misalnya, peristiwa terbelahnya bulan, atau pohon yang bersaksi atas kerasulan beliau dalam kisah Masjid Asy-Syajarah.
Selanjutnya, derajat yang bisa dicapai oleh umatnya bertingkat-tingkat pencapaiannya, sesuai dan berbanding lurus dengan ikhtiar dalam proses pembelajarannya.
(Drs.Maman Supriatman M.Pd, KOSMOLOGI ISLAM Menyingkap Rahasia Penciptaan, 2020: 124-127).