Mekah,Ka’bah Dan Orang Mukmin, Mana Yang Lebih Mulia?
saksihukumindonesia.com-Bahwa Mekah dan Ka’bah adalah pusat bumi, memiliki pijakan argumen yang kuat, baik secara Syari’ah maupun berdasarkan bukti-bukti ilmiah.
Secara Syari’ah, diisyaratkan dalam Al-Qur’an, ditegaskan dalam Hadits dan terdapat pula beberapa atsar sahabat.
Hal ini dijelaskan oleh Dr. Abdul Basith Muhammad as-Sayid, anggota Haiah al-I’jaz al-ilmi lil Quran wa as-Sunah (Majlis Keajaiban Ilmiyah Alquran dan Sunah) di Mekah, dalam Konsultasi Syariah.
Dr. Abdul Basith mengutip Surat Asy-Syura Ayat 7:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا
“Demikianlah kami wahyukan kepadamu Alquran yang berbahasa arab, agar kamu memberi peringatan kepada penduduk ummul qura (kota Mekah) dan orang-orang yang berada di sekitarnya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Mekah adalah pusat bumi. Karena pengikut Rasulullah SAW harus berada di radius yang sama dari berbagai arah mata angin.
Dari Hadits, terdapat riwayat dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Tempat pertama yang Allah letakkan di bumi adalah tanah pijakan Ka’bah, kemudian bumi dibentangkan darinya. Dan gunung pertama yang Allah letakkan di muka bumi adalah gunung Abu Qubais, kemudian gunung-gunung lainnya dibentangkan darinya.”
Dari atsar sahabat, terdapat beberapa jalur, antara lain dari Abu Hurairah RA:
“Ka’bah diciptakan 2000 tahun sebelum bumi. Muridnya bertanya: ‘Bagaimana Ka’bah bisa diciptakan sebelumnya, padahal Ka’bah itu bagian dari bumi?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Bumi ketika itu pulau kecil di atas air. Di atasnya ada dua malaikat yang bertasbih siang dan malam selama 2000 tahun. Ketika Allah berkehendak untuk menciptakan bumi, Dia bentangkan pulau itu, dan Dia jadikan Ka’bah sebagai pusat bumi.“
Sebuah tim riset yang terdiri atas sejumlah ilmuwan dalam bidang Geografi dan Geologi yang dipimpin oleh Dr. Husain Kamaluddin, telah membuktikan bahwa Mekah adalah pusat bumi.
Dr. Husain bersama timnya berhasil menemukan salah satu Hikmah Ilahiyah, mengapa Mekah Al-Mukarramah dipilih Allah sebagai tempat bagi Baitullah (Ka’bah).
Temuan ini dimuat dalam Majalah Al-‘Arabi Edisi 237, Agustus, 1978.
Dari Greenwich ke Mekah
Dalam artikel itu ditegaskan bahwa dengan menggunakan persamaan matematik dan kaidah yang disebut “spherical triangle”, Dr. Husein menyimpulkan kedudukan Mekah betul-betul berada di tengah-tengah daratan bumi. Sekaligus membuktikan bahwa bumi ini berkembang dari Mekah. Artinya, Mekah adalah daratan pertama yang terbentuk di bumi.
Karena sejumlah kajian Ilmiyah telah berhasil membuktikan bahwa Mekah adalah pusat bumi, maka sejumlah pakar Islam di bidang Geologi dan Ilmu Syariah mulai mengkampanyekan persamaan waktu dunia dengan merujuk pada waktu Mekah al-Mukarramah, menggantikan persamaan waktu Greenwich (GMT) yang selama ini digunakan.
Tema itu dibahas dalam Konferensi Ilmiah bertajuk: “Mekah sebagai Pusat Bumi: antara Teori dan Praktek”. Konferensi ini diselenggarakan di Ibukota Qatar, Dhoha pada tahun 2009. Konferensi menghasilkan kesimpulan tentang acuan waktu Islam berdasarkan kajian ilmiah, yakni Mekah.
Konferensi ini dihadiri oleh Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi dan sejumlah pakar Geologi Muslim, seperti Dr. Zaghlul Najjar, dosen Ilmu Bumi di Wales University, Inggris.
Dr. Yusuf Qardhawi menyampaikan dukungannya agar umat Islam dan dunia menggunakan acuan waktu Mekah:
“Kami menyambut kajian ilmiah dengan hasil yang menegaskan kemuliaan Kiblat Umat Islam. Meneguhkan lagi teori bahwa Makkah merupakan pusat bumi, adalah sama dengan penegasan jati diri keIslaman dan menopang kemuliaan umat Islam atas agama, umat dan peradabannya,” jelas Syekh Qardhawi (Ketua Asosiasi Ulama Islam Internasional, wafat 26 September 2022).
Banyak argumen ilmiah yang membuktikan bahwa Mekah merupakan wilayah nol bujur sangkar yang melalui Kota Suci tersebut, dan tidak melewati Greenwich di Inggris. GMT dipaksakan ketika dunia berada di bawah jajahan Inggris (fase Pax Britannica dalam Eskatologi Islam).
Poros Alam Semesta
Hasil kajian lebih lanjut bahkan menyimpulkan bahwa Mekah dan Ka’bah bukan hanya pusat bumi, tapi pusat pusaran langit dan bumi, poros Alam Semesta.
Dalam perjalanan Isra-Mi’raj, Nabi Muhammad SAW melihat Baitul Makmur yang berada di langit ketujuh.
“Kami mendatangi langit ketujuh. Lalu aku mendatangi Nabi Ibrahim, aku memberi salam kepadanya dan beliau menyambut, ‘Selamat datang putraku, sang Nabi.’ Lalu aku melihat Baitul Makmur. Aku pun bertanya kepada Jibril, dan Jibril menjawab: “Ini adalah Baitul Makmur. Setiap hari, tempat ini dikunjungi 70.000 Malaikat untuk melakukan salat. Setelah mereka keluar, mereka tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” (HR. Bukhari 3207, Muslim 162).
At-Thabari menyebutkan riwayat yang mursal dari Qatadah: “Sampai kepada kami informasi bahwa satu hari, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda di hadapan para sahabatnya: ‘Tahukah kalian, apa itu Baitul Makmur?’ Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu.”
Lalu beliau menjelaskan: “Baitul Makmur adalah bangunan masjid di langit, tepat di bawahnya adalah bangunan Ka’bah. Andai masjid ini jatuh, dia akan jatuh di atas Ka’bah.” (Tafsir at-Thabari 22/456. Riwayat ini juga dikutip dalam Tafsir Ibnu Katsir 7/429).
Dalam Kitab As-Silsilah as-Shahihah (1/476) disebutkan, riwayat yang menyatakan bahwa Ka’bah yang terletak di Baitul Makmur sejajar dengan Ka’bah yang ada di Mekah statusnya sahih, dengan gabungan semua jalur periwayatannya.
Jadi, Baitul Makmur adalah Ka’bah pusat ibadah penduduk langit, sebagaimana Ka’bah di bumi sebagai pusat ibadah penduduk bumi. (Drs.Maman Supriatman M.Pd, KOSMOLOGI ISLAM Menyingkap Rahasia Penciptaan. Rosdakarya, 2020: 137-140).
Dengan demikian, Ka’bah yang ada di bumi terhubung dengan Ka’bah yang ada di langit; Ka’bah adalah poros langit dan bumi, poros Alam Semesta.
Kemuliaan Orang Mukmin
Posisi Mekah sebagai pusat bumi dan keagungan Ka’bah sebagai Baitullah di Bumi yang sebagiannya telah berhasil dibuktikan secara Ilmiyah, mengkonfirmasi Firman Allah dalam Surat Ali Imran Ayat 97:
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Oleh karena itu, Ka’bah termasuk salah satu syiar Islam yang wajib dihormati dan diagungkan. Menghormati tempat yang dimuliakan oleh Allah termasuk bagian ketakwaan kepada-Nya.
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj: 32).
Meski demikian, kehormatan dan keagungan Ka’bah ini masih kalah dibanding kehormatan dan keagungan orang Mukmin.
Hal ini ditegaskan dalam Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
“Saya pernah melihat Rasulullah SAW thawaf di Ka’bah dan beliau berkata: Alangkah wanginya kamu dan alangkah wanginya baumu! Alangkah mulianya kamu dan alangkah agungnya kehormatanmu! Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan orang mukmin lebih agung di sisi Allah dibanding kehormatanmu, hartanya, dan darahnya.”
Dalam Hadits lain Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa hancurnya dunia dan seisinya bagi Allah lebih mudah dan lebih ringan, dari pada terbunuhnya seorang Mukmin:
Dari al-Barra’ bin Azib RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak.”
(HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455).
Dalam Hadits di atas, Rasulullah SAW membandingkan lenyapnya dunia dengan terbunuhnya seorang Mukmin.Hadits ini mengandung pesan Ilahiyah yang sangat kuat, bahwa terbunuhnya seorang Mukmin menjadi sebab datangnya amarah Allah yang sangat besar, hingga digambarkan bahwa “hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan dengan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak”.
Refleksi
Karena keterbatasan perangkat metodologi pengetahuan konvensional, maka selamanya manusia tidak akan pernah mengetahui bahwa Ka’bah adalah Poros Alam Semesta, seandainya Allah dan RasulNya tidak menginformasikannya.
Mereka yang terbiasa membatasi diri pada sumber pengetahuan eksternal sebatas yang bisa diperoleh lewat observasi dan eksperimen saja, selamanya akan sulit menerima sumber pengetahuan yang berasal dari otoritas lain.Bagi mereka, akan sama sulitnya mencerna peringatan keras bahwa “hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan dengan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak”.
Bila terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak bisa mengundang amarah Allah yang sangat besar, bagaimana jika orang Mukmin yang terbunuh tanpa hak itu berjumlah enam orang atau ratusan orang?***
والله اعلم