Revolusi Media Digital Marak

Opini ~ Ismail
Sinjai ~ Era disrupsi revolusi media digital menandai munculnya media sosial yang semakin marak dipergunakan meliputi Facebook, Twitter dan Instagram. Kepmilikan medsos berimbas pada kemampuan dalam menggunakan dan mendistribusikan informasi sesuai kehendaknya, kegiatan ini dikenal dengan istilah jurnalisme publik, yakni sebuah aktivitas pencarian berita oleh warga biasa (bukan wartawan).

Keberadaan jurnalisme publik sebagai wujud konsekuensi perilaku ketergantungan terhadap telepon seluler yang telah menjadi budaya. Kebutuhan primer dalam mengakses informasi, pengembangan diri, hiburan, pendidikan dan akses pengetahuan menghadirkan kebiasaan baru yang mengakses media online atau medsos layaknya ungkapan dunia dalam genggaman. Sebagaimana diketahui keberadaan media cetak besar saat ini kurang diminati, berbanding terbalik atas peminatan terhadap konten Youtube seorang vlogger.

Permasalahan muncul tatkala media sosial dipergunakan oleh jurnalisme publik guna ngambil alih kendali seorang wartawan dalam penyebaran sebuah informasi. Setiap orang tentu memiliki tujuan dalam menggunakan akun medsosnya. Menempatkan diri sebagai jurnalisme publik praktiknya sebagian cenderung terfokus pada topik viral yang mengabaikan kaidah seorang jurnalis.

Justru, topik hangat dalam sebuah medsos menjadi momentum bagi para jurnalisme publik berlomba-lomba mewartakan berita pertama kali. Dengan dalih agar di cap tidak kebobolan serta berharap trending sebagai wujud eksistensi keberadaannya. Karakteristiknya yang bersifat terbuka dan bebas siapa saja dapat menginformasikan tanpa adanya batasan kode etik profesi. Repotnya, sebuah informasi dapat dengan mudah dipercaya dan justru disebarluaskan kembali.

Sekalipun, informasi yang didistribusikan merupakan hoaks sehingga menimbulkan penurunan kepercayaan publik terhadap kredibilitas sebuah pemberitaan.

Contonya saja, masyarakat cukup membuka berbagai platfrom yang tersedia di App Store maupun Play Store yang memuat cukup banyak platfrom media sosial yang dapat digunakan dalam mencari informasi. Seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, YouTube, dan lain-lainnya. Walapaun informasi itu belum diketahui kebenarannya.

BACA JUGA:  Apel Gelar Pasukan Ops Lilin Kapuas 2023 Dalam Rangka Pengamanan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 di Wilkum Polres Sanggau

Begitu pula yang dirasakan kaum jurnalis saat ini. Maraknya informasi yang dengan gampang beredar, menjadikan insan pers  lebih keras dalam bekerja, untuk menguji kebenaran informasi yang ada.

Jauh sebelum muncul internet,  informasi didapat dari mulut ke mulut. Lalu bertransformasi ke smartphone. Kehadiran smartphone ini mempermudah jurnalis untuk merekam data yang didapat di lapangan.

kata yang pas menggambarkan perkembangan zaman saat ini. Kata-kata itu mulai digaungkan sejak teknologi komunikasi digital mulai terkomputerisasi dengan jaringan atau acap disebut internet.

 Artinya perkembangan teknologi saat ini sudah semakin canggih dengan pola sistem yang mencangkup keseluruhan apa yang dibutuhkan oleh manusia

Media identik dengan informasi dan kebenaran, jika dikaitkan dengan new media saat ini sudah pasti memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan antara teknologi dan komunikasi digital yang jalan beriringan.

Dulu sebelum munculnya internet, manusia  mencari informasi dan menguji kebenaran informasi lewat alat yang disebut media. Seperti, Radio, Koran dan Televisi.

. Berdasarkan data Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) dari 137 juta pengguna Internet terdapat 800.000 situs penyebar berita bohong di Indonesia. Pihak manapun tidak dapat disalahkan atas fenomena ini sebab merupakan konsekuensi perkembangan zaman dan manusia sebagai pelaku atas terbentuknya kebudayaan itu sendiri.

Mesikipun begitu, penting kiranya bagi jurnalisme publik memanfaatkan momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN) , untuk menempatkan diri layaknya seorang jurnalis (wartawan) professional sebagai sebuah kesadaran. Adanya bentuk kesadaran diri menempatkan kemampuan menaati kode etik jurnalistik. Tentunya, seorang jurnalis memiliki kewajiban dalam menyampaikan informasi yang akurat dan benar.

Sebaliknya, akan menjadi persoalan bila fakta yang diberikan seorang jurnalis tidak memiliki kebenaran yang valid. Jurnalis dalam melakukan pekerjaannya harus terlibat selaku aktor yang mendisiplikan verifikasi sebagai senjata utama dalam penyampaian informasi. Sementara itu, validasi informasi ialah kunci sebelum pendistribusian sebuah berita.

BACA JUGA:  Pemkab Tulungagung Ikuti Rakor Pengendalian Inflasi Tahun 2023

Oleh karena itu, merupakan sebuah tantangan bagi jurnalisme publik untuk memerhatikan hal-hal meliputi kebenaran, loyalitas kepada masyarakat, disiplin verifikasi, independensi terhadap sumber berita, alat kontrol pemantau kekuasaan, forum kritik, saran dan dukungan masyarakat, membuat hal penting menarik dan relevan, pemberitaan yang komprehensif dan proporsional.

Apabila dalam pelaksanannya jurnalisme publik mengacu sebagaimana perihal di atas maka kehadirannnya dapat mengayomi keinginan publik, dalam memperoleh pemenuhan informasi yang tidak diperoleh dari media konvensional. Informasi yang diberikan tetap dalam koridor fakta-fakta yang benar dan akurat.
Kelebihannya, jurnalisme publik dapat memberikan informasi yang diwadahi dalam berbagai platform meliputi vlog, youtube, blog, web dan lainnya. Secara tidak langsung, keberadaan jurnalisme publik merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat guna terlibat secara aktif dalam menyampaikan informasi. Partisipasi secara aktif dapat menjadi alat kontrol sosial dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan sehingga terbangun mekanisme pengawasan kepada penyelenggaraan negara yang berbasis pada bottom up dan top down dari jurnalisme publik dan jurnalis profesional secara berdampingan.

Mungkin Anda juga menyukai