DENI RAHMAN.SH: Dapatkah Mahkamah Konstitusi Membentuk Norma Baru

SAKSI HUKUM INDONESIA.COM ll LOMBOK NTB –
Perdebatan demi perdebatan mewarnai media, medsos kita hari ini pasca diputuskan Judicial Review syarat Umur Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, banyak yang mencemooh putusan Mahkamah Konstitusi ( MK) Tersebut, bahkan ada saja ulah Netizen dengan memplesetkan MK menjadi Mahkamah Keluarga karena putusannya dianggap menguntungkan Keluarganya. Jum’at (20/10/2023)

Ada banyak pakar yang menyatakan MK telah disfungsi karena telah mengambil kewenangan DPR untuk membentuk norma Baru ( Positif Legislation), MK telah menjelema Menjadi Positif Legislation, bahkan perhari ini tgl 20 Oktober beberapa Hakim MK akan dilaporkan terkait norma baru yang dianggap pelanggaran yang menguntungkan Keluarga , dan masih banyak lagi perdebatan lainya yang jika diperhatikan dengan teliti perdebatan-perdebatan yang ada bermuara pada dua sudut pandang yakni sudut pandang Normarif dan Sudut pandang Politik,”tutur Deni Rahman,SH(Praktisi Hukum)

Tentu dalam tulisan ini, Kami lebih menyajikan atau fokus pada pandangan Normatif untuk menjawab, dapatkan Mahkamah Konstitusi Alias MK membentuk Norma Baru atas putusannya yang menyatakan suatu Pasal Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945, untuk menjawab ini perlu kita uraikan rumusan pasal 57 ayat (2a) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 perubahan atas undang-undang No mor : 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merumuskan yakni:
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a. Amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. Perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,”Ungkap Deni Rahman.

Jika kita perhatikan bunyi pasal 57 ayat (2a) huruf c undang-undang Nomor: 8 tahun 2011 tentang MK tersebut maka tentu MK tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Norma Baru dalam Putusanya alias murni sebagai Negatif Legislation yakni suatu Badan Negara yang hanya memiliki fungsi untuk menyatakan atau membatalkan suatu Undang-undang secara keseluruhan atau membatalkan hanya satu atau beberapa Pasal yang termuat dalam Undang-undang serta tidak dapat membentuk Norma Baru.

Namun pasca Undang-undang Nomor: 8 Tahun 2011 tetang MK tersebut, MK merasa dibatasi kewenanganya melalui pasal 57 ayat 2a huruf c, padahal tujuan MK dibentuk sebagai Badan Negara yang bertujuan untuk mengimbangi produk hukum Legislator yang keluar jalur Konstitusi atau bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pada tahun 2011 itu juga, MK menguji pasal 57 ayat (2a) huruf c Undang- undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang MK tersebut dan dalam putusanya, MK menyatakan pasal 57 ayat (2a) huruf c telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011.

Sambung Deni Rahman,”

Dalam pertimbangannya MK berpendapat ketentuan Pasal 57 ayat (2a) huruf c Undang-undang Nomor 8 tahun 2011 bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD 1945. Adanya pasal tersebut berakibat Mahkamah Konstitusi terhalang untuk
1. Menguji konstitusionalitas norma.
2. Mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan MK yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu proses pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut.
3. Melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang telah membatalkan Rumusan Pasal 57 ayat (2a) huruf C tersebut membuka ruang bagi MK berwenang membentuk Norma Baru dalam setiap Putusanya, dan adanya kewenangan teresebut MK tidak saja didudukan sebagai Negatif Legislation melainkan juga semi Positif Legislation atau pembentuk norma terbatas.

Kami setuju dengan fungsi semi Positif Legislation yang dimiliki MK saat ini karena bayangkan jika MK hanya didudukan sebagai Negatif Legislation melalui Pasal 57 ayat ( 2) huruf c uu nomor 8 tahun 2022 ttg MK tersebut, dan DPR tidak mau melakukan amandement atas UU atau Pasal Undang-undang Tertentu yang rugi adalah rakyat.

INDRA – KORLIP NTB

Mungkin Anda juga menyukai