Suramnya Kehidupan Seorang Wartawan/Jurnalis Di Negeri Tercinta Ini……! Opini publik…. Penulis ~ Rustan Batas Kalimantan Barat Kalbar ~ Sebagian orang mengatakan, untuk menjadi wartawan dewasa ini terbilang gampang. Ibarat pemain sulap, cukup membaca mantra ‘Sim Salabim Abrakadabra’ maka jadilah seseorang itu sebagai wartawan lengkap dengan kartu persnya. Tapi tunggu, yang dimaksud di sini tentu bukan wartawan profesional yang fungsi dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan pengolah informasi untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita kepada masyarakat, melainkan oknum wartawan dari media yang tidak jelas model pengelolaannya. Memang, dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan, setiap warga negara dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga tidak heran jika beberapa tahun belakangan kian banyak bermunculan media cetak baru yang hampir sebagian besar hanya mendompleng untuk sekedar “numpang hidup” di lahan profesional wartawan disamping untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwasanya mereka juga adalah pers. Yang ironis, kebebasan setiap orang atau kelompok untuk mendirikan perusahaan pers tersebut, tidak dibarengi dengan ketentuan standar kompetensi bagi setiap orang yang akan melakoni profesi wartawan, sehingga karena itu pula dunia pers sekarang tampaknya makin banyak dihuni oleh oknum wartawan jadi-jadian bahkan pemimpin redaksi dadakan yang hampir sebagian besar tidak memiliki pengetahuan tentang seluk beluk pers, apalagi kode etik jurnalistik. Modalnya cukup memiliki badan hukum dan biaya cetak sesekali kemudian menerbitkan kartu pers Yah, seperti inilah potret buram wajah dunia kewartawanan saat ini, teutama pasca runtuhnya rezim orde baru. Siapa saja dengan seketika bisa jadi wartawan bahkan pemimpin redaksi sekali pun. Jika sebelumnya ada istilah Wartawan Muntaber (muncul tanpa berita), Wartawan ‘jadi-jadian’, WTS (wartawan tanpa surat kabar), Wartawan Bodrex, dan lain-lain sebagainya, sekarang ada lagi istilah Wartawan Nagabonar (ibarat seorang kopral mengaku jenderal) wartawan CNN (Cuma Nanya’ Nanya’), wartawan Media “Tempo” yang maksudnya terbit tempo-tempo. Dalam berbagai pertemuan aparat kehumasan dengan jajaran pers, persoalan oknum wartawan ‘jadi-jadian’ ini selalu menjadi salah satu topik serius yang dibicarakan karena dianggap sering “memusingkan”, namun sejauh ini belum ditemukan solusi tepat untuk mengantisipasinya. Apalagi sebagaimana telah disebutkan, dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan; setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga boleh jadi ini dijadikan alasan para oknum wartawan ‘jadi-jadian’ tersebut untuk mendapat pengakuan publik. Soal apakah kemudian dalam prakteknya mereka dianggap telah “mengotori” dunia kewartawanan, karena telah mendompleng hidup pada profesi ini dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti dengan terang-terangan meminta uang dengan alasan untuk transport pada kegiatan yang dilaksanakan suatu instansi, memeras, membodoh-bodohi masyarakat dan lain-lain yang merupakan perbuatan tercela, bagi sebagian dari mereka mungkin itu dianggap urusan lain atau bahkan mana urus?. Lantas lagi-lagi, siapa yang bisa disalahkan dalam kaitan ini?, sebab bukankah tuntutan kemerdekaan pers yang disusul lahirnya UU No.40/1999 Tentang Pers tersebut adalah karena tuntutan insan pers juga?.Atau barangkali di antara insan pers kini masih banyak yang larut dalam bereuforia karena kebebasan sehingga seperti inilah jadinya……!? Wartawan di negeri ini sangatlah curang dalam hidup nya, oleh karena tidak mendapatkan upah dari perusahaan media. Harapan kedepan seharusnya pemilik media memikirkan nasib wartawan atau jurnalis agar tidak ada hal-hal buruk tentang wartawan, contohnya beberapa oknum wartawan atau jurnalis yang melakukan tindak pemerasan terhadap narasumber atau pelaku tindak pidana korupsi. Di zaman sekarang di era globalisasi sangat ketatnya persaingan media baik itu online maupun itu cetak. Mungkin perlunya ada penataan terhadap nasib wartawan ataupun jurnalis agar tidak ada lagi kejadian-kejadian yang dilakukan oleh oknum wartawan atau jurnalis itu sendiri. Kami berharap kepada dewan pers agar kiranya memberi peluang buat wartawan/jurnalis yang bisa menghidupi keluarga beserta anak-anaknya. Sepertinya hidup seorang jurnalis dan wartawan hanya mengharapkan sesuatu yang tak kunjung ada, semakin waktu berjalan semakin curam lah hidup seorang jurnalis ataupun wartawan yang ada di negeri ini.”suramnya hidup jurnalis di negeri ini…..!

Opini publik….
Penulis ~ Rustan Batas Kalimantan Barat

Kalbar ~ Sebagian orang mengatakan, untuk menjadi wartawan dewasa ini terbilang gampang. Ibarat pemain sulap, cukup membaca mantra ‘Sim Salabim Abrakadabra’ maka jadilah seseorang itu sebagai wartawan lengkap dengan kartu persnya.
Tapi tunggu, yang dimaksud di sini tentu bukan wartawan profesional yang fungsi dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan pengolah informasi untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita kepada masyarakat, melainkan oknum wartawan dari media yang tidak jelas model pengelolaannya.

Memang, dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan, setiap warga negara dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga tidak heran jika beberapa tahun belakangan kian banyak bermunculan media cetak baru yang hampir sebagian besar hanya mendompleng untuk sekedar “numpang hidup” di lahan profesional wartawan disamping untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwasanya mereka juga adalah pers.

Yang ironis, kebebasan setiap orang atau kelompok untuk mendirikan perusahaan pers tersebut, tidak dibarengi dengan ketentuan standar kompetensi bagi setiap orang yang akan melakoni profesi wartawan, sehingga karena itu pula dunia pers sekarang tampaknya makin banyak dihuni oleh oknum wartawan jadi-jadian bahkan pemimpin redaksi dadakan yang hampir sebagian besar tidak memiliki pengetahuan tentang seluk beluk pers, apalagi kode etik jurnalistik. Modalnya cukup memiliki badan hukum dan biaya cetak sesekali kemudian menerbitkan kartu pers Yah, seperti inilah potret buram wajah dunia kewartawanan saat ini, teutama pasca runtuhnya rezim orde baru. Siapa saja dengan seketika bisa jadi wartawan bahkan pemimpin redaksi sekali pun. Jika sebelumnya ada istilah Wartawan Muntaber (muncul tanpa berita), Wartawan ‘jadi-jadian’, WTS (wartawan tanpa surat kabar), Wartawan Bodrex, dan lain-lain sebagainya, sekarang ada lagi istilah Wartawan Nagabonar (ibarat seorang kopral mengaku jenderal) wartawan CNN (Cuma Nanya’ Nanya’), wartawan Media “Tempo” yang maksudnya terbit tempo-tempo.

BACA JUGA:  Masjid Nurul Amin Sukaria Peringati Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW 1444 H

Dalam berbagai pertemuan aparat kehumasan dengan jajaran pers, persoalan oknum wartawan ‘jadi-jadian’ ini selalu menjadi salah satu topik serius yang dibicarakan karena dianggap sering “memusingkan”, namun sejauh ini belum ditemukan solusi tepat untuk mengantisipasinya. Apalagi sebagaimana telah disebutkan, dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan; setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga boleh jadi ini dijadikan alasan para oknum wartawan ‘jadi-jadian’ tersebut untuk mendapat pengakuan publik. Soal apakah kemudian dalam prakteknya mereka dianggap telah “mengotori” dunia kewartawanan, karena telah mendompleng hidup pada profesi ini dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti dengan terang-terangan meminta uang dengan alasan untuk transport pada kegiatan yang dilaksanakan suatu instansi, memeras, membodoh-bodohi masyarakat dan lain-lain yang merupakan perbuatan tercela, bagi sebagian dari mereka mungkin itu dianggap urusan lain atau bahkan mana urus?.

Lantas lagi-lagi, siapa yang bisa disalahkan dalam kaitan ini?, sebab bukankah tuntutan kemerdekaan pers yang disusul lahirnya UU No.40/1999 Tentang Pers tersebut adalah karena tuntutan insan pers juga?.Atau barangkali di antara insan pers kini masih banyak yang larut dalam bereuforia karena kebebasan sehingga seperti inilah jadinya……!?

Wartawan di negeri ini sangatlah curang dalam hidup nya, oleh karena tidak mendapatkan upah dari perusahaan media.
Harapan kedepan seharusnya pemilik media memikirkan nasib wartawan atau jurnalis agar tidak ada hal-hal buruk tentang wartawan, contohnya beberapa oknum wartawan atau jurnalis yang melakukan tindak pemerasan terhadap narasumber atau pelaku tindak pidana korupsi.

Di zaman sekarang di era globalisasi sangat ketatnya persaingan media baik itu online maupun itu cetak. Mungkin perlunya ada penataan terhadap nasib wartawan ataupun jurnalis agar tidak ada lagi kejadian-kejadian yang dilakukan oleh oknum wartawan atau jurnalis itu sendiri.
Kami berharap kepada dewan pers agar kiranya memberi peluang buat wartawan/jurnalis yang bisa menghidupi keluarga beserta anak-anaknya.

BACA JUGA:  Bhayangkari Cabang Tabes Makassar bersama Personil Polsek Bontoala Berbagi Takjil Jelang Buka Puasa

Sepertinya hidup seorang jurnalis dan wartawan hanya mengharapkan sesuatu yang tak kunjung ada, semakin waktu berjalan semakin curam lah hidup seorang jurnalis ataupun wartawan yang ada di negeri ini.”suramnya hidup jurnalis di negeri ini…..!

Mungkin Anda juga menyukai