Kekerasan Pelajar di SMAN 1 Pakel: Korban Trauma, Sekolah Bungkam — Benarkah Dunia Pendidikan Ikut Membiarkan Kekerasan Hidup?

TULUNGAGUNG,-Sebuah kasus dugaan kekerasan siswa kembali mengguncang dunia pendidikan. Seorang pelajar kelas X SMAN 1 Pakel bernama Alvino mengaku menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh siswa kelas XI berinisial Df. Insiden ini terjadi pada September 2025 di depan ruang kelas XI C2, dan berdampak serius pada kondisi fisik serta mental korban. Ironisnya, pihak sekolah hingga kini belum memberikan sikap tegas ataupun pendampingan terhadap korban.

Dalam keterangannya kepada awak media saat ditemui di rumahnya pada Kamis (16/10/2025), Alvino menuturkan bahwa insiden bermula ketika ia sedang berdiri di depan kelas pada jam istirahat. Tiba-tiba, pelaku diduga menendang dan memukulnya tanpa alasan jelas.

Saya dipukul dan ditendang oleh Df. Ada saksi mata, teman saya satu kelas, namanya Arjunata. Dia melihat langsung saat kejadian itu,” ujar Alvino dengan nada terbata, masih terlihat trauma.

Pernyataan adanya saksi mata memperkuat dugaan bahwa kekerasan tersebut bukan sekadar kesalahpahaman, melainkan tindakan agresif yang dilakukan secara sadar oleh pelaku.

Akibat tindakan kekerasan tersebut, Alvino merasakan sakit pada punggung serta mengalami gangguan lambung. Ia menjalani perawatan selama dua hari dua malam di Klinik Pratama Rawat Inap An Nisa, Desa Pandean, Kecamatan Durenan. Dokter menyatakan adanya tekanan emosional yang memengaruhi kondisi fisik.

Usai perawatan, Alvino tidak masuk sekolah selama 10 hari karena masih merasa takut dan tertekan. Hingga kini, ia mengaku belum siap kembali ke lingkungan sekolah.

Orang tua korban, Suprihatin, mengecam keras sikap sekolah yang dianggap tidak memiliki kepekaan kemanusiaan. Selama masa pemulihan, tidak ada komunikasi dari pihak sekolah mengenai kondisi korban.

BACA JUGA:  Kapolresta Mataram Hadir Dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H Di Halaman Kantor Walikota

Anak saya sepuluh hari tidak masuk, tidak ada satu pun guru yang tanya atau datang. Seolah-olah sekolah pura-pura tidak tahu. Apakah siswa hanya penting saat ujian dan nilai?” ujarnya tegas.

Keluarga menilai sikap diam sekolah berpotensi menjadi bentuk pembiaran kekerasan, membuka celah bagi kasus serupa terulang, bahkan menjadi budaya ketakutan di kalangan siswa.

Hingga berita ini ditulis, tidak ada klarifikasi resmi dari pihak sekolah, tidak diketahui adanya pemanggilan pelaku, mediasi, konseling korban, ataupun laporan ke aparat. Publik pun mempertanyakan: Apakah keselamatan siswa bukan prioritas institusi pendidikan ini?

Masuk Ranah Hukum: Kekerasan terhadap Anak Tak Bisa Disebut “Canda”

Penganiayaan terhadap siswa adalah ranah pidana dan tidak bisa ditutup dengan alasan “kenakalan remaja” atau “candaan”. Tindakan tersebut berpotensi dijerat:

*Pasal* 351 KUHP – Penganiayaan (hingga 5 tahun penjara jika menimbulkan luka)
*UU 35/2014* Perlindungan Anak – Kekerasan terhadap anak dipidana 3 tahun 6 bulan dan/atau denda Rp72 juta,
*Permendikbud* 82/2015 – Sekolah WAJIB mencegah, menangani, dan melaporkan kasus kekerasan
*UU 20/2003* tentang Sisdiknas – Peserta didik berhak atas perlindungan fisik dan psikis

Jika sekolah terbukti tidak melakukan langkah pencegahan dan pelaporan, maka tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif yang melanggar peraturan pendidikan.

Kasus ini membuka pertanyaan serius:
*Jika* siswa bisa dipukul di depan kelas tanpa tindakan lanjut, di mana fungsi pengawasan?
*Jika* korban trauma namun tidak dibina, di mana fungsi konseling sekolah?
*Jika* saksi sudah ada namun investigasi tak berjalan, di mana komitmen menanamkan nilai keadilan?
*Apakah* pendidikan hanya bicara nilai akademik, bukan perlindungan jiwa siswa?

Keluarga menyatakan akan mempertimbangkan pelaporan ke pihak berwajib jika sekolah tidak mengambil tindakan tegas. Langkah hukum menjadi opsi terakhir demi keadilan dan pencegahan korban berikutnya.

BACA JUGA:  Jasa Raharja Sulsel Hadiri Puncak Acara Hari Bhayangkara Ke-77 

Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai anak kami trauma, sementara pelaku berkeliaran bebas tanpa konsekuensi,” tegas Suprihatin.

Kini, Alvino masih berjuang pulih dari trauma. Publik menantikan keberanian sekolah untuk menegakkan aturan, bukan bersembunyi di balik diam. Dunia pendidikan diuji — apakah ia akan berdiri sebagai pelindung, atau membiarkan kekerasan jadi bagian dari “normal baru”.(Ft)

Mungkin Anda juga menyukai